Pernahkah suatu ketika anda melintas di kota Tuban dan beristirahat sejenak lalu mencoba mencicipi minuman khas sana yang sering disebut legen atau nira lontar? Saran saya, berhati-hatilah, karena alih-alih ingin meneguk segarnya air nira, salah-salah anda malah sakit perut atau menjadi batuk karena gatalnya kerongkongan anda. Jika anda ingin menikmati minuman tersebut dengan aman dan nikmat, cobalah masuk ke pelosok-pelosok kampung dan carilah penyadap yang baru menurunkan bumbung air nira dari pohon lontar.
Beberapa oknum pedagang seringkali mencampur nira lontar dengan air-biasanya menggunakan air mentah-dengan konsentrasi hingga 5:100. Artinya dalam 100 liter ‘nira’ yang dijual, hanya terdapat 5 liter nira asli yang benar-benar disadap dari pohon lontar. Memang, selain lebih murah, nira tersebut menjadi tidak lekas basi sehingga dapat disimpan berhari-hari. Padahal nira asli tidak akan bertahan lebih dari 10 jam, karena bila lewat dari tempo tersebut, air nira akan berbusa, berasa masam dan mengeluarkan bau yang bisa-bisa membuat anda muntah.
Sebenarnya, tanpa mencampur dengan air, nira memberikan keuntungan ekonomi sangat menggiurkan. Sebatang pohon lontar produktif yang terpelihara dengan baik, dapat menghasilkan 3-5 liter air nira sehari, dipanen 2 kali pagi dan sore. Dengan harga per liter di tingkat penyadap Rp1.000-harga yang lebih murah dibanding air mineral dalam kemasan- satu pohon dapat menghasilkan Rp3.000-Rp5.000 per hari.
Seorang petani kecil yang hanya mempunyai 20 pohon lontar saja, dengan tanaman produktif 12 pohon, maka dalam sehari dia mampu menangguk penghasilan hingga Rp36.000-Rp60.000 sehari dengan jam kerja kurang dari 4 jam. Bila dia menyadap kepunyaaan orang lain, maka bagi hasil yang umum disepakati adalah 6:1 dengan penyadap mendapat porsi yang lebih besar. Disela-sela waktu sadapnya, penyadap dapat melakukan pekerjaan lain seperti berkebun, mengolah sawah dan lain-lain sehingga mendapatkan penghasilan yang lebih besar.
Angka tersebut barulah hitungan kasar, yang tidak memasukkan nilai tanaman lain seperti padi, palawija atau buah-buahan, karena tanaman lontar umumnya dibudidayakan secara tumpangsari sehingga sangat sesuai untuk pengembangan sistem agroforestry. Pohon lontar dapat ditanam di pinggir-pingir sawah atau sering disebut galengan dengan jarak tanam optimum 5 meter. Keunggulan jenis ini dibanding dengan tanaman lain semisal kelapa adalah akarnya yang sempit dengan sedikit serabut sehingga tidak terlalu menghabiskan banyak tempat.
Nira lontar dapat diolah menjadi beberapa produk turunan seperti gula dan tuak (alkohol). Gula lontar memiliki citarasa yang berbeda jika dibandingkan dengan gula tebu, gula aren atau gula kelapa dengan rasa legit dan sedikit masam. Untuk menghasilkan 1 kg gula lontar seharga Rp5.000, dibutuhkan air nira sebanyak 6-7 liter dengan waktu olah 3-4 jam. Kurang menguntungkan jika dibandingkan menjual langsung dalam bentuk nira segar atau legen.
Potensi lain yang masih bisa dimanfaatkan adalah daun lontarnya dapat digunakan sebagai bahan baku kerajinan atau souvenir. Para pengrajin biasa membeli dengan harga Rp1.200 tiap setengah pelepah. Dalam 1 tangkai pelepah hanya setengah sisi saja yang dapat dimanfaatkan karena sisi yang lain tertekuk.
Buah lontar yang masih muda dapat dijual sebagai buah segar dengan harga Rp500 per buah. Dalam 1 buah terdapat 3 biji (tempurung) dimana didalamnya berisi daging buah berwarna putih segar dengan tekstur lembut dan sedikit kenyal seperti kelapa muda atau aren. Beberapa asam amino yang terkandung di dalamnya antara lain alanin, serin, arginin dan glutamin.
Sedangkan buah yang tua, atau sering disebut keling, masih belum dimanfaatkan secara optimal. Padahal seperti jenis-jenis palem yang lain seperti kelapa sawit atau kelapa, daging buahnya dapat diolah menjadi minyak goreng. Tandan bunganya bahkan dapat digunakan sebagai obat pegal linu. Selain itu masih banyak kegunaan tanaman yang di India disebut pohon dengan 800 manfaat ini.
Secara agronomi, budidaya lontar tidaklah terlalu sulit. Tanaman ini dapat tumbuh di dataran rendah kering berpasir hingga ketinggian 800 m diatas permukaan laut bahkan di kawasan-kawasan dimana jenis palem produktif lain seperti aren atau kelapa tidak mampu berkompetisi. Jenis dengan nama latin Borassus flabellifer ini juga sangat mudah beradaptasi, tahan terhadap kekeringan dan mampu bertahan dengan curah hujan 500-900 mm per tahun.
Perbanyakan umumnya menggunakan biji dengan cara langsung meletakkannya ke tanah tanpa menyemainya terlebih dahulu. Bibit lontar amat sensitif karena memindahkan pada saat telah menjadi semai (tanaman muda) sangatlah sulit dan rawan mati. Lontar akan mulai berbunga dan berbuah pada umur 12-20 tahun, biasanya pada musim kemarau. Untuk menyadap nira, tangkai bunga disayat tipis melintang, lalu diletakkan bumbung pada ujung sayatan untuk menampung cairan nira yang menetes. Sebelumnya, bumbung harus sibersihkan dengan air panas, dibubuhi kapur halus (enjet) dan dipasangi laru (semacam serambut) untuk menyaring tetesan nira.
Meskipun lontar memiliki beragam potensi yang sedemikian besar, hal tersebut tidak serta merta membuat masyarakat tertarik untuk membudidayakannya. Khusus di Kabupaten Tuban yang merupakan kawasan dengan populasi lontar terbesar di Pulau Jawa, keberadaan tanaman ini perlu mendapat perhatian khusus. Banyak pohon lontar produktif yang ditebangi, sedangkan tanaman mudanya tidak terpelihara dan bahkan cenderung dimatikan oleh masyarakat setempat. Keadaan ini mengakibatkan jumlah populasinya turun drastis sehingga dikhawatirkan akan mengalami pelangkaan. Padahal dahulu, Indonesia dengan kerajaan Majapahitnya pernah tercatat sebagai negara pengekspor daun lontar terbesar di dunia.
Permasalahan yang terjadi adalah mulai bergesernya nilai-nilai sosial terutama di kalangan anak-anak muda. Generasi muda di sana mulai enggan memanjat pohon lontar karena pekerjaan tersebut harus berkotor-kotor sehingga dianggap tidak memiliki gengsi. Para pemuda lebih memilih merantau ke kota besar atau menjadi TKI ke luar negeri meskipun pekerjaan yang dijalani umumnya adalah buruh kasar. Pekerjaan menyadap nira saat ini hanya dilakukan oleh generasi tua yang berusia di atas 40 tahun, padahal dahulu hampir seluruh penduduk Tuban mampu dan mau memanjat karena kebanyakan hidup mereka ditopang oleh hasil pohon lontar. (S. Budiharta)